Thursday, July 27, 2006

"hati hati, pulang jangan jadi terorist"
itu pesanku pada seorang kenalan adik kecil yang setelah lulus sekolah dasarnya ini kemudian disekolahkan di pesantren terkenal di daerah jawa timur.
aku hanya takut dia kembali menjadi "berbeda", pesantren adalah suatu pendidikan yang sangat dekat sekali untuk menghasilkan (maaf) "pembenci dunia"..

berbagai alasan hadir buat saya, pertama, di pesantren, berbagai paradigma bahkan dogma mudah masuk dan datang lalu dihisap secara literal tanpa esensial pada para santrinya dengan mudah dapat terjadi. karena umur santri santri tersebut banyak yang masih kecil dan belum mengenal "dunia luar" dan sesungguhnya. suatu hal yang tepat dalam membentuk barisan fasis kan?
kedua, latar belakang pengajar yang memiliki banyak bentuk pendeskripsikan teks Al Quran pun menjadi salah satu kekhawatiran, para pengajar banyak yang notabene adalah fundamentalis. ahh... hmmm...
is it true that religion and liberal way of life will always be in enormous tension toward each other?
Sebenarnya, topik fundamentalisme agama adalah hal tua yang sudah terlalu sering diulas. Namun pemunculannya yang senantiasa aktual, menyebabkan isu ini krusial untuk selalu dicarikan solusi. Persoalannya, fundamentalisme macam ini lebih sering muncul dalam wujud yang negatif. Ia lebih banyak dibungkus dengan nalar perlawanan, logika permusuhan serta –meminjam istilah John Esposito– ideologi kebencian. Padahal sudah tak terhitung lagi korban kemanusiaan yang menjadi "tumbal" akibat disharmoni hubungan lintas agama sepanjang sejarah.
karen Armstrong menengarai bahwa sikap terlampau fanatik dalam beragama (over fanatism in religious faith) sebagai penyebab utama adanya gejala destruktif ini. Paradigma sempit serupa inilah yang kemudian berandil menentang setiap upaya sekularisasi dan modernisasi yang terjadi di tubuh agama. Lahirlah absolutisme pemikiran --dengan "perisai" purifikasi ajaran agama-- yang memaksakan penafsiran literal terhadap pelbagai problema keummatan. Segala ihwal mesti dirujuk secara skriptural kepada sumber (hukum) tekstual yang serbabaku.
ini yang saya takutkan, (meminjam bahasa teman) Kultur religius tidak harus dibarengi dengan tabiat Mussolini dan Stalin, dan kami pikir setiap orang pun dapat membedakan antara agama dengan fasisme, terutama mereka yang selalu membuka ruang bagi perdebatan dan argumentasi.
muncul pertanyaan.. apa masyarakat kita hari ini adalah wujud lain dari gabungan pasukan Ariel Sharon dan Neo-Nazi?

adik, pulanglah menjadi seseorang yang memang berguna untuk agamamu, keluargamu, bangsamu dan negaramu..
inget islam adalah kedamaian dan islam adalah rahmatan lil alamin..

2 comments:

Anonymous said...

Looks nice! Awesome content. Good job guys.
»

Anonymous said...

I say briefly: Best! Useful information. Good job guys.
»