Monday, February 12, 2007

pa diman

Pa Diman

Pagi itu lagu kolam susu dari Koes Plus terdengar semakin keras di rumah kontrakan yang hanya terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur itu. Diikuti nyanyian sumbang dari seorang paruh baya, bercelana panjang biru tua, memakai kaos oblong putih sobek. Badannya wangi karena belum lama selesai mandi, perawakannya sedikit kurus namun terlhat masih tegap. Istrinya baru saja setahun meninggalkannya menghadap yang maha kuasa dan sejak dahulu mereka berdua tidak dikaruniai anak, jadi keadaan rumah tersebut semakin sunyi sejak setahun lalu. Kopi yang kini disiapkannya sendiri masih terlihat mengepul dan terletak di meja kayu yang sudah keropos. Sementara Pa Diman, begitu dia dipanggil, masih terlihat sibuk mengusapkan minyak rambut ke rambutnya yang sudah nampak tipis. Penampilannya rapih, dikenakannya kemeja warna biru muda yang ber-emblem lambang perusahaan tempat dia bekerja di saku sebelah kirinya, dan kembali ke kamar untuk mengambil tas yang biasa dia bawa ke tempat bekerja nya tersebut.
Namun kembali waktu seperti biasa dapat membunuh kapan saja, saat melihat jam dia langsung terkejut, waktu sudah menunjukkan pukul 7:00 pagi. Dimana bus angkutan yang biasa menjemputnya seharusnya sudah pergi sejak 5 menit lalu. Dengan gerak cepat, dia mengambil semua peralatan dan mengunci pintu kontrakan yang penuh dengan stiker, seperti stiker pemilu, stiker partai, dan stiker tanda kebersihan dari RT/RW setempat. Langkah cekatan kemudian dia lakukan, berharap bus nya masih belum pergi, kakinya masih dapat memilah mana jalan yang becek dan tidak, berlari menuju ujung gang yang jarak dari depan ke rumahnya sekitar 100 meter. Ini adalah pertama kalinya dia terlambat sejak 15 tahun lalu dia mulai bekerja hingga sekarang.
Dewi fortuna berada dipihaknya kali ini, bus yang dinantinya masih ada didepan gang. Kawan-kawannya sudah berada di bus tersebut, terduduk dengan rapih, beberapa masih menguap karena udara pagi itu sangat dingin, semalam kota besar ini diguyur hujan lebat hingga mengakibatkan banjir di beberapa titik. Langkah kaki dia naikkan ke tangga naik bis, dengan senyum dan sedikit terengah-engah dia masuk ke bis. Tatapan kawan-kawannya terlihat beda beberapa hari ini, semua tetap menyapa semu melihat Pa Diman. Tapi dia tidak memperdulikannya, dengan senyum hangat dia membalas setiap sapaan, dan duduk di bangku tengah dimana dia biasa duduk selama beberapa tahun terakhir ini.
Selama di perjalanan, semua terdiam. Bis akhirnya sampai pada akhir perjalanan, yaitu di pabrik tekstil besar di daerah pinggiran kota. Semua turun dari bis dan kemudian langsung melangkahkan kaki ke sebuah gedung besar dimana terdapat alat-alat besar yang dikendalikan oleh mesin, dan pekerja-pekerja tersebut adalah faktor pendukung dari berjalannya mesin-mesin besar tersebut. Sementara itu, Pa Diman, tidak ikut masuk ke gedung besar tersebut, Pa Diman hanya duduk jongkok di depan gedung besar tersebut sambil melihat karyawan lain bekerja, matanya menatap kosong gedung-gedung besar, truk-truk yang melintas, dan semua yang ada didepannya, Dan pada saat istirahat siang, Pa Diman membuka bungkusan kecil berupa nasi dan telur asin dan potongan daging ikan sisa semalam. Para pekerja menyapa Pa Diman saat mereka melintas di hadapannya dan seperti biasa, Pa diman membalasnya dengan senyuman hangat. Dan saat jam kerja habis, Pa Diman ikut pulang bersama teman-temannya naik bis yang sama dengan yang tadi pagi ia naik.
Hari sudah menjelang sore, dan Pa Diman sudah sampai di depan gang menuju rumah kontrakannya. Adzan magrib sudah mulai terdengar dari corong Masjid dekat rumahnya. Dan dia melangkah pulang dengan masih ditemani senyum hangat tanpa beban. Dan obrolan di bis angkutan karyawan masih tetap sama setiap saat pulang, yaitu betapa kasihannya Pa Diman, dimana sebenarnya dia telah terkena penyempitan karyawan, dan telah di PHK beberapa hari lalu. namun karena Pa Diman sudah bekerja selama 15 tahun dan merasa menyatu dengan Pabrik tempatnya bekerja itu, maka dia tidak dapat lepas dan meninggalkan pabrik tersebut begitu saja. Setiap hari setelah pemecatan tersebut, Pa Diman masih menginjakkan kakinya di pabrik dan masih menganggap dirinya adalah pekerja dari pabrik tersebut walaupun sekarang kerjanya hanya berdiam dan terduduk sambil memandangi tempat yang sudah menafkahinya selama 15 tahun itu sambil tidak lupa menyapa semua yang melewat dengan senyum hangat khasnya...

......

* tulisan ini pernah dimuat pada salah satu web sastra lokal sebagai cerpen of the week.

No comments: